Rindu




 Aku ingin berbicara tentang rindu pada hari ini. Kerinduanku pada hal apa-apa yang tengah memenuhi nelangsaku pada saat ini.
Aku rindu. Entah pada siapa. Rindu ini semacam candu yang dapat melebur menjadi abu. Oh, astaga. Ternyata rindu ini banyak sekali. Hari-hari menuju pergantian tahun semakin membuat banyak orang menjadi sendu. Tahun berganti, katanya.
Lalu pikirku… jika tahun berganti, apa yang akan berubah? Hanya tahun ‘kah? Kurasa bukan, ‘kan? Tapi mengapa akhir-akhir ini, atau mungkin semenjak tahun lalu… aku hanya merasa hanya tahun yang semakin tua?
Jika tahun pun berubah… bagaimana kabar denganmu? Berubahkah? Atau tetap menjadi berandalan seperti yang sudah-sudah? Apa kau masih mempermainkan wanita? Nyatanya, aku pun tidak berharap demikian. Aku ingin kamu juga berubah, Dan.
 Jika tahun berubah, aku juga ingin diriku ikut berubah. Tapi nyatanya, bukan tahun yang mengubahku. Semua karena waktu dan pengalaman hidup yang pahit namun harus dihadapi. Realitas yang tak mungkin terelakkan.
Ya, tahun memang waktu. Bukan hari-hari yang dikumpulkan hingga menjadi tahun. Akan tetapi…detik-detik itulah yang berpengaruh besar karena mengubah setiap orang.
Tahun berganti, namun nyatanya tidak banyak yang berubah. Hanya zaman yang semakin sinting yang ikut berubah semakin temaram. Anak-anak semakin gila. Orangtua juga. Semua menjadi gila sebelum waktunya.
Ah, realitas waktu sekejam itu ternyata.
Oh iya, sampai mana aku tadi? Sampai rindu, ya? Sungguh, aku lupa. Lupa karena rindu bisa semenyesakkan ini jadinya. Aku lupa, karena rindu ini hanya hasrat sesaat. Akan hilang jika perasaan sekarat itu didiamkan saja.
Ya, diam. Namun diam itu akan berubah menjadi cucuran mata air bersama turunnya hujan nanti malam. Karena sedang musim penghujan… biasanya banyak orang-orang yang mendadak galau karena memori bersama hujan.
Banyak orang berkata, “Sudah, nanti rindu itu akan hilang, kok. Diamkan saja. Hanya perasaan numpang lewat. Toh nanti kamu juga lupa.”
Benar, sih. Tapi aku ragu. Ragu jika perasaan numpang lewat itu akan hilang. Dasar perasaan sialan. Kalau datang tidak bilang-bilang.
Aku rindu, sungguh. Mau dikatakan apapun jika aku tak punya hubungan lagi denganmu, aku tidak peduli. Persetan dengan itu semua. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku. Sudah cukup bagiku karena sewaktu dulu selalu memendam perasaanku yang sebenarnya. Segenap perasaanku karena terlalu takut bila tidak diterima jika aku menunjukkan wajahku yang sesungguhnya dan terlalu takut jika orang-orang pergi meninggalkanku karena kejujuran yang kupunya.
Karena, jika berbicara tentang hati… aku termasuk orang yang paling jujur jika berbicara tentang itu semua. Aku terlalu capek jika disuruh memendam perasaan lagi. Aku tidak mau lagi seperti itu.
Jika kamu benar mengenalku, kamu akan tahu jika aku adalah orang paling jujur yang kau kenal.

Aku rindu padamu dengan terangat-amat-sangat. Mau orang-orang berkata… tidak perlu merindukan kamu karena aku pantas dapat yang baru. Oh, tolong, tidak semudah itu. Bukankah aku pernah berkata padamu bahwa jika perasaanku benar-benar tulus, semua tidak akan menjadi pertimbangan besar untukku?
Masalahnya hanya satu:
Kadang aku benci jika perasaanku terlampau tulus seperti ini. Aku tidak mungkin berkata…”Akankah aku salah mencintai orang lagi?”
Tidak, ‘kan?
Kamu pun tidak mau jika dikatakan aku mendapat orang yang salah untuk aku tempatkan. Mendapatkan orang yang salah karena telah kuberi ruang untuk diangan-angankan. Atau sekadar dikatakan… mendapatkan orang untuk didapatkan?
Kamu juga tahu, ‘kan? Kalau aku sudah terlampau lelah dengan yang namanya jatuh hati. Lelah dengan semua permainan brengsek itu. Padahal katanya cinta itu suci… sekarang, aku mendapatkan kesuciannya darimana?
Aku mendapatkan kesuciannya darimana?
Aku rindu kamu yang dulu. Aku rindu ‘kita’ yang dulu. Tapi semuanya sudah tidak bisa begitu, ‘kan?
Kamu sudah ada yang baru, sementara aku masih beradu rindu tentang kamu. Secepat itu ternyata ketika hati yang baru memburu lebih dulu.

Secepat itu.

Comments

Popular Posts