Sebuah Penghiburan

Baru saja aku menonton kilas-balik kehidupanku sewaktu tiga tahun yang lalu pada sebuah pigura. Meski ada sedikit rasa sesak, aku mencoba untuk menguatkan diriku berkali-kali untuk menyaksikan sampai habis perjuanganku hingga dapat bertahan sampai sekarang.

Banyak orang-orang yang mengatakan bahwa tulisanku bisa menjadi penyembuh bagi mereka yang membacanya. Teruntuk kalian yang mengatakannya, terimakasih atas pujiannya yang menyenangkan itu.

Kali ini aku akan mengatakan sesuatu hal yang mungkin agak tidak sedikit bermakna pada kalian yang membutuhkan tulisan ini.

Pada beberapa waktu lalu, ada seseorang yang membutuhkan wejangan dariku. Mesti tidak begitu kusambut dengan baik, aku akan menuliskannya disini. Obrolan waktu itu mungkin tidak akan cukup untuk menjelaskan maksudku.

Aku jelas begitu terkejut karena kita tidak begitu dekat. Namun kau mempercayakan kisahmu padaku. Terimakasih atas kepercayaannya. 

Pintamu pada saat itu ialah pertanyaan bagaimana caraku melewati hari-hari suram yang terjadi padaku beberapa saat lalu. Meski yang kita lalui adalah hal yang jelas begitu berbeda, akan aku jelaskan bagaimana caraku menjalani hari-hari suram yang penuh kesenduan itu.

Aku hidup dengan menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada saat itu. Padahal, yang terjadi padaku bukan murni kesalahanku. Jelas yang bersalah adalah mereka yang menimpakan kesedihan padaku.

Aku hidup dengan ketakutan. Aku hidup dengan rasa ketidakpercayaan yang besar pada orang-orang. Aku memecundangi siapapun yang bermaksud mendekatiku tanpa motif. Aku jelas menuduh setiap orang.

Yang jelas, aku pernah hidup dengan keadaan dimana aku membenci diriku sepenuhnya. Tiga tahun. Tiga tahun yang lalu adalah waktu yang jelas gila, dengan kegilaan dimana aku harus tetap mempertahankan kewarasanku dan menyelesaikan apa yang harusnya aku selesaikan.

Tahun-tahun berlalu, mungkin waktu selama dua tahun cukup menyembuhkanku. Walaupun tidak sembuh sepenuhnya, yang jelas... pada saat itu aku hidup dengan tidak bercerita tentang apapun yang kualami selama itu. Aku hanya bercerita hal-hal yang cukup penting untuk kuceritakan pada orang-orang yang kupercaya.

Orang-orang barangkali sudah cukup mengetahuiku sebagai orang yang tertutup. Dan pada masa itu, aku menjadi lebih tertutup lagi. Aku menutup akses pada siapapun. Aku hidup sendiri. Aku hidup dalam hierarkiku sendiri. Aku hidup dalam ketakutanku sendiri.

Ya. Aku merasa tidak aman. Aku merasa tidak akan ada yang percaya pada ceritaku dan orang-orang jelas akan menunjukkan jarinya untuk menyalahkanku. Maka, kusimpan rapat-rapat cerita itu dan kubiarkan lantunan doa mengepul di langit pada waktu siang dan malam.

Aku menangis? Sudah tentu. Aku menyalahkan keadaan? Jelas. Aku menyalahkan Tuhan tentang apa yang terjadi pada diriku? Sudah pasti.

Namun, pada saat itu, yang kutahu... bahwa tuhanku tiada pernah meninggalkanku. Orang-orang bisa saja mengkhianatiku. Orang-orang bisa saja berbuat dzalim padaku. Akan tetapi, Allah selalu ada di sana. Menunggu di persimpangan jalan agar aku bisa kembali padanya. Maka, yang aku lakukan adalah berlari padanya. Berbalik kembali pada persimpangan jalan itu.

Manusia itu sarangnya kecewa. Manusia itu sarangnya sakit hati. Manusia sarangnya tempat itu semua. Maka, apa yang bisa kamu harapkan dari manusia? Mereka aja makhluk yang lemah.

Sebenarnya, waktu kamu berharap kepadaku agar bisa memberikan jawaban yang tepat, itu aja udah salah. Namun, karena kamu butuh bantuanku, kujawab dengan apa yang kubisa.

Berharap ke Allah. Udah, itu aja. Kembali ke dia. Dan sebelum kamu bertanya kepadaku tentang apa yang harusnya kamu lakukan, gue rasa lu udah dapetin jawaban itu sendiri tanpa harus bertanya pada orang lain.

Kadang, hal-hal buruk yang terjadi pada kita, itu emang terjadi begitu aja. Enggak usah mempertanyakan kenapa. Karena, kamu sendiri barangkali tau jawabannya apa.

Kalau kamu bertanya, "Apa yang kulakukan kali ini benar?" Serius. Enggak ada jawaban yang bisa menggambarkan secara benar dan detail soal benar atau tidaknya hal yang kita lakukan. Lakuin aja, karena kadang satu kesalahan bisa aja ngejawab pertanyaan besar yang sedang kamu tanyakan itu.

Kalo kamu tanya, "Allah kemana? Kemana Dia saat aku membutuhkan?" Udah, deh. Jawabannya udah jelas, Dia enggak kemana-mana. Ia tetep disitu, nungguin kamu nemuin jawabannya. Bukan dia yang ninggalin kamu, tapi bisa jadi kamu yang udah lama ninggalin Dia.

Dan apa yang kamu alami saat ini adalah bentuk perjalanan spiritual kamu dalam rangka nemuin Dia di hidup kamu. Orang lain enggak bakal ngerti dan enggak bakal bisa jelasin apa dan kenapa terkait dengan perjalanan spiritual kamu, karena hal itu cuma bisa dimengerti sama orang yang lagi ngalaminnya. Saran gue? Nikmatin aja prosesnya.

Proses nemuin Tuhan di dalem diri lu bisa makan waktu bertahun-tahun. Enggak cuma orang religius aja, orang biasa juga butuh waktu yang relatif lama untuk nemuin tuhannya. Enggak ada yang instan di dunia ini.

Sisi baiknya ketika lu lolos dalem ngejalanin proses itu, hidup lu bakal enteng. Lu bakal bisa geleng-geleng tentang perjalanan lu waktu dulu, bahkan bisa ngetawain kejadian dulu. Bakal bisa ngehargain orang lain dengan proses yang sama. Dan bakal bisa memahami hal lain yang jauh lebih berat dibanding orang lain karena lu lebih dulu ngalamin prosesnya. 

Kalo ada yang ngatain proses lu, diemin aja. Belom aja diuji hal yang sama, atau bahkan jauh lebih berat. Orang kaya gitu biasanya lebih mudah terpuruk kalo udah ngejalanin ujian yang sama. Pas orang itu nyerah, baru deh nyari lu. Gitu deh biasanya.

Dan, lu bakal lebih bisa ngefilter mana yang baik dan enggak baik buat hidup lu ke depannya. Karena apa? Lu bakal bisa ngeprioritasin diri sendiri sebab yang lu pertaruhin adalah masa depan lu.

Udah gitu aja.



Comments

Popular Posts