Persona Jingga

Persona Jingga

Dahulu, sayup-sayup suara alam bersahutan diiringi warna lembayung mega
Kini, lembayung mega digantikan warna jingga yang terpesona akan ajaibnya gugusan nirwana
Jingga bertanya, akankah ada yang berbeda dari lembayung mega?
Padahal nyatanya cakrawala selalu memuja Langit Angkasa

“Lembayung mega, cumbu aku.” ucap Jingga. Lembayung mega menatap Langit Angkasa seolah mengiba.
Lalu, Lembayung bersitatap dengan Jingga. Ia mematung.

“Sudah puaskah engkau bermain-main, Jingga?” tanya Lembayung Mega. Jingga menatap teduh kedua mata Lembayung. Tatapan tulus namun penuh kepedihan di dalamnya.

“Bermain-main? Lembayung, siapa yang bermain-main? Bukankah hidup ini memang selalu berbicara tentang permainan?” jawab Jingga pelan namun tegas. “Alangkah baiknya jika sedari awal aku tidak punya perasaan.”

Lembayung menyerngitkan dahinya lalu tertawa. “Kau benar, Jingga. Alangkah baiknya juga jikalau aku telah bersiap jika memiliki sedikit ketulusan kepadamu.”

Jingga tertawa lalu menatap Langit Angkasa samar-samar. “Sedari awal aku memang sudah tidak punya perasaan untuk apapun. Apapun. Baik itu rasa tentang cinta, atau rasa tentang kehidupan itu sendiri.”

“Jangan salahkan dirimu, Lembayung. Cerita ini belum sepenuhnya usai. Banyak dari orang yang kadang salah mengartikan apa kelemahanku. Kelemahanku ialah berada dalam pikiran, namun pikiran pulalah yang menjadi kelebihanku. Kebanyakan orang tak tahu tentang itu.”

“Aku selalu tertawa dan mengutuki mereka yang selalu salah mempersepsikan apa sebenarnya aku. Kau pun juga tahu, wajah tak melulu menggambarkan apa yang berada dalam hatinya. Kita semua terkadang salah mengartikan banyak hal. Makna ganda. Apa yang terlihat belum tentu itulah yang terlihat.”

“Kau pun juga tahu, Mega. Aku adalah kontradiksi terbesar yang telah alam ciptakan. Alih-alih terlihat sakit, sesungguhnya pun aku menyiapkan obat dari rasa sakit itu dan apa yang harus terbalaskan kemudian. Akan tetapi, itu tidak termasuk akan pembalasannya.”

“Pembalasan hanya akan terbalas oleh Ia, Tuhan yang Maha Esa. Aku hanya perlu  menunggu waktunya tanpa perlu tahu apa yang akan terjadi setelahnya.”

Lembayung mega terdiam, lalu ia kembali menatap Jingga dengan arti tatapan berbeda.
Lihat, makna tatapan ganda. Terjadi lagi.

Jingga tersenyum tipis. Lembayung berujar, “Tapi, Jingga. Aku tak pernah sedikit pun menyesal telah mengenalmu. Kau adalah Jingga dengan segala pesonanya.”

Jingga terhenyak, kemudian ia menatap Lembayung dengan sedikit terkejut.

“Kau akan menyesal, Megaku. Ramah-tamahku, kelemahanku, kerapuhanku, adalah senjata kuat yang tak terlihat. Terlihat biasa, namun mematikan. Kau terpedaya, Mega. Kau—”

“—aku tahu. Aku mengetahui itu dengan akurasi tepat, Cakrawala Jingga. Percayalah. “

Jingga lemas. Ia terduduk di atas dipan-dipan selasar singgasana Mega. Langit Angkasa telah mewarnai langit dengan warna Nila berbalut cahaya keemasan. Itu tanda bagi Jingga untuk segera ‘pulang’.

Jingga kemudian berdiri, dibantu oleh Lembayung mega. Jingga menyiapkan sejuta sayap berliannya untuk kembali.

“Aku akan mengantarmu, Jingga.” ujar Lembayung mega. Jingga menggeleng kemudian tersenyum.

“Penghantaran terbaik ialah ketika kau melepasnya pergi. Tanpa duka, tanpa luka. Aku pergi.” ucap Jingga lalu menghilang sedetik kemudian.




Comments

Popular Posts