Ketika dewasa bukan lagi soal usia

 


 Ketika kecil, kita selalu berangan betapa bahagianya menjadi seorang dewasa. Betapa enaknya bisa bertambah tinggi dan menjadi besar. Betapa bahagianya bisa membeli apa yang tidak mampu kita beli sewaktu masa kanak-kanak. Betapa bahagianya ketika apa yang dicita-citakan sedari kecil, dapat tercapai.

Akan tetapi, di situlah letak kenaifan kita sebagai anak-anak, apa yang terlihat sudah tentu dapat dinikmati. Kenyataannya, banyak lika-liku dan jalan terjal dalam proses penggapaiannya.

Kita disuguhkan bahwa hasil lah yang terpenting, namun tanpa tahu seberapa keras dan menyakitkannya proses tersebut. Orang dewasa terlalu banyak berbohong dan menuntut, mereka adalah pembual ulung, sementara kita terus disuguhkan pertanyaan dan kita semakin dibuat bertanya-tanya, "Mengapa tidak ada yang memberitahuku tentang seberapa kejamnya proses menjadi dewasa? Mengapa bisa begitu mengerikan seperti ini? Mengapa apa yang kurencanakan, nyatanya tidak bisa berjalan seperti apa yang kuinginkan?"

Padahal sejatinya, kita sendiri sudah dibuat takut untuk bermimpi. Ketika realita tersaji di depan mata, ketika fakta terus berbicara sehingga impian-impian naif kita tak akan bisa tercapai, namun orang dewasa selalu bertanya, namun enggan membeberkan fakta dan selalu menyembunyikan fakta tentang, "Apa impianmu? Apa cita-citamu? Kok enggak punya cita-cita?"  

Padahal kenyataannya mereka tahu, keadaan bagaimana yang tengah melingkupi hidup kita dan apa yang tengah terjadi, namun mereka seakan buta dan membual bahwa impian kita bisa tercapai asalkan berusaha. 

Kita diajarkan untuk terus bermimpi, namun lupa mengajarkan realita. Lupa mengajarkan bagaimana cara agar impian itu dapat tercapai, bagaimana cara menghadapi fakta bila  impian itu tidak akan terjadi dan cara bagaimana menyikapinya. Bagaimana caranya membuat impian baru, sehingga setidaknya satu dari sekian juta impian kita itu bisa terwujud? Hingga kita lupa dan gagal berpikir bahwa mungkin kita tengah hidup dalam sebuah ilusi dan memahami betul bahwa kita adalah seorang imajiner sejati.

Bajingan, fakta apa yang coba kau tutupi, pembual?

Kita tidak diberitahu atau diperingatkan, bahwa kedewasaan itu mengerikan. Ada begitu banyak wajah yang bersembunyi dibalik topeng, ada begitu banyak kata manis namun berisi racun yang mematikan, begitu banyak pelukan hangat di depan, namun kita tidak tahu bahwasanya ada pisau yang mampu menikam kita semakin dalam.

Orang dewasa hanya berkata sangat singkat, mereka berkata, "Kelak kau akan merasakannya." Aku tanya, rasa yang seperti apa? Bukankah semua proses yang dirasakan manusia untuk menjadi dewasa sangatlah berbeda?

Perasaan apa yang bisa dirasa? Jika hanyalah satu kalimat pengingat, "Kelak kau akan merasakannya?" That's it? We know every rules... we can feel because we have feeling. But I ask you as an adult, how can you live as a villain?

How? How to become an adult when I ask you as a child, more younger than you? How to become a nice adult? How can you live as a trickster when your life such of fake?

Mengapa kau bisa hidup dengan kebohongan yang nyatanya dapat memberangus dirimu pelan-pelan?

Mengapa kau bisa hidup begitu nyaman dengan suatu kebohongan yang pada akhirnya bisa menghancurkan reputasimu sebagai orang dewasa yang baik?

Kita tidak meminta banyak, hanya ingin mengetahui bagaimana caranya. Kami tidak meminta perjamuan tentang betapa manisnya kalimat peredam realita itu. 

How?

Kau tahu? Apa yang dibutuhkan manusia ketika bertumbuh menjadi dewasa? Kita butuh bimbingan, sebuah gambaran besar bagaimana realita hidup kita akan berjalan. Bagaimana kita bisa memetakan hidup kita yang mungkin masih jauh akan kata "dewasa", ketika kita hanya mampu berjalan sendiri, atau bahkan merangkak untuk menjalani realitas kehidupan layaknya orang dewasa.

Sudah cukup lelah berjalan tanpa tahu arah, mencari sendiri di tengah kegelapan untuk menemukan cahaya. Kita sudah cukup muak dengan kalimat manis, "You can find your way."

Holyshit. Betapa menjijikkannya kalimat itu.

Walaupun memang benar bahwa dewasa bukan soal usia. Kedewasaan selalu berkaitan erat dengan pengalaman, pola pikir dan pemikiran mendalam tentang bagaimana kehidupan harusnya berjalan.

Karena jika kita menyandingkan usia dengan kedewasaan, rasanya egois sekali. Kita seringkali melihat betapa banyak para orangtua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan atas kehidupan anak-anaknya, lalu menelantarkan mereka. Para lelaki atau wanita yang kerap kali mendustakan kesetiaan pasangannya. Para pejabat yang sudah uzur, namun lupa berpijak pada tanah, serta memiliki gaya setara langit, padahal nyawa sudah berada di pangkal tenggorokannya. Kedewasaan yang harusnya berpengaruh atas usianya, namun seakan lupa bahwa bertanggung jawab pada dasarnya adalah hakikat sejati menjadi orang dewasa.

Kedewasaan adalah sesuatu yang bisa dipelajari, ketika kita sudah memahami arti dari menerima segala sesuatu yang awalnya memang bukan buat kita. Merelakan hal-hal yang notabenenya bukan milik kita.

Ketika suatu konflik bisa diredam karena mengerti perasaan masing-masing. Walaupun penyelesaiannya tidak akan pernah selesai. Bagaimana lambat laun diri kita sendiri bisa menerima segala jenis dan segala bentuk perasaan dan emosi. Serta tidak berusaha untuk menyangkal apa yang kita rasa.

Kita hanya butuh... penerimaan. Penerimaan akan perasaan dan emosi kita sendiri. Karena jika kita menyangkalnya, justru perasaan atau emosi itu tidak akan pernah selesai dan akan terus-menerus menetap dalam diri kita. Bukannya bertumbuh, justru jiwa kita akan semakin kerdil.

Tenangkan dan tanamkan dalam diri bahwa perasaan dan emosi adalah bagian dari diri kita sebagai manusia. Penyangkalan hanya akan membuat nafas kita sesak dan tersengal-sengal. 

Menangis, marah, kecewa, kesal, malu, dan bahagia adalah bentuk emosi kita. Jika rasanya mungkin terlambat bagi kita untuk belajar tentang afirmasi diri sendiri dan orang lain, tak apa. Lakukanlah sekarang. Setidaknya lebih baik untuk terlambat daripada tidak melakukannya sama sekali.

Rasanya pun, tak apa menjadi ekspresif ketika kita terlambat mengenali diri sendiri. Siapa bilang ketika menjadi dewasa kita tidak boleh menjadi ekspresif? Justru, bukankah menjadi ekspresif itu menyenangkan? 

Malahan, aku justru merasa menerima banyak cinta ketika aku menjadi ekspresif. Aku bebas mengekspresikan diriku sendiri. Aku tak perlu malu atau bahkan merasa aku seperti anak kecil ketika aku menjadi ekspresif. Justru menjadi ekspresif membuat diriku semakin ceria. Aku tidak perlu memalsukan diriku ingin memberi emosi atau perasaan seperti apa. Di saat aku sedih, aku boleh bersedih. Di saat senang, aku bebas mengekspresikan diriku jika aku sedang bahagia.

Karena bagiku dewasa itu adalah tentang bagaimana kita nyaman menjadi diri sendiri. Tentang bagaimana bisa membantu orang lain, tanpa diri kita yang palsu.

Karena, menjadi apa adanya justru lebih menyenangkan. :)


Sekian.


Comments

Popular Posts