Mau diabai atau tidak, itu tetaplah sebuah rasa

 


Mungkin, dia tidak pandai bicara atau berkelakar. 

Dia tidak pandai menjanjikan banyak hal. Tidak menjanjikan semua akan berjalan mudah, tidak menjanjikan jalan selalu tanpa kerikil.

Dia tidak mudah mengatakan cinta, tidak bisa merayu atau berbual manis. Dia hanya mampu untuk mengatakan yang sejujurnya.

Terasa manis, akan tetapi tidak berlebihan.

Aku menginginkan dia dan dunianya, semestanya.

Bagiku, tulus mencintai seseorang setelah disakiti berkali-kali bagaikan menikam tubuh ditambah dengan perasan limau. Sudah perih, ditambah rasa sakit yang menghujam, lalu setelah itu mati rasa.

Ketidakpercayaan dan ketakutan datang kembali, karena percaya akan disakiti lagi. Membuat rasa percaya bahwa diri ini tidak pantas untuk dicintai kembali datang lagi.

Akan tetapi, dia membuat semua terasa mungkin. Aku layak dan bahkan pantas untuk dicintai dengan benar.

Dia membuktikannya.

Pun, jika kenyataannya aku kembali mengabaikan perasaan ini walau sudah lama terjalin, akankah aku bisa sembuh dari bayang-bayang ketakutanku?

Mungkin tidak akan sama sekali sembuh.

Karena mengabaikan perasaan ini ataupun mengakuinya, lalu membiarkan rasa ini bertumbuh, tetaplah sebuah rasa. Rasanya, menyenangkan belajar mengenai rasa dari seseorang yang pernah jua terluka.

Kita tidak sama-sama saling menjanjikan, tetapi kita mengusahakan yang terbaik.

Kini, kembali dapat kubuktikan,

Tidak semua laki-laki jahat, buktinya ada di kedua mataku.


"Aku menginginkan dia, dunianya, semestanya, dan segalanya tentang dia, meski di masa depan nanti tak dapat lagi bersama."

"Karena rasanya sudah lebih dari cukup untuk mengetahui kenyataan bahwa dia lah orangnya."


Comments

Popular Posts