Ketika "kita" dipaksa menjadi dewasa

Di ujung menara tatkala matahari mengangkasa...
Sayup-sayup suara angin mendesir halus, mengingat sebuah kata.
Pertanyaan-pertanyaan tentang realitas kehidupan yang samar maupun yang jelas. Adakah terpatri? Semuanya?

Ketika kita jatuh dari sepeda, mendapat luka gores sedikit, lalu menyalahkan sepeda dan aspal.
Ketika kita meminta mainan, namun tidak mendapatkan apa yang dipinta, kita mengamuk seketika.
Ketika kita mendapat tamparan keras, karena mengalah pada saudara. Lalu menyalahkan bahwa itu salah kita.

Itu tidak seberapa, hanya guratan masa kecil yang semua orang rasakan.
Kita terus bergumul dengan waktu. Mengejar ketertinggalan peristiwa.
Dan kita tahu bahwa, peristiwa itu semua punya.
Namun, ada beberapa manusia yang harus menahan pedih yang lebih pahit. Dipaksa menjadi dewasa.

Ada orang-orang di masa kecil yang harus merasakan lebih awal apa makna kehilangan.
Banyak orang yang harus mengerti apa makna keterbatasan ketika kekurangan.
Terlebih lagi, ada beberapa orang yang harus siap menghadapi kematian karena keadaan.
Peristiwa. Segala peristiwa adalah proses pendewasaan.

Namun, naasnya... masyarakat. Orang-orang hanya tahu bagaimana meraih proses sesuai dengan rentang usia.
Seolah-olah "kita" dipaksa dewasa.

Semasa kecil, kita harus berpikiran seperti anak kecil pada umumnya. Bermain, canda, tawa. Adalah hal yang lazim dirasa. Lalu, ketika anak kecil tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapat... bocah itu disebut nasib malang. "Naas," katanya.

Lalu, jika anak kecil terlalu berpikir dewasa... ia disebut "tua". Pola pikir yang seharusnya tidak didapatkan anak kecil sebagaimana umumnya.

Beranjak remaja, zaman kita disuguhi "trend" bernama "pacaran". Memadu kasih dengan sang pujaan. Remaja yang melakukan sudah menjadi hal biasa. Namun, ketika dianggap di luar batas kewajaran, itu disebut melanggar norma kesusilaan.

Kemudian, masa menengah remaja dewasa. Kita disuguhi beberapa pilihan. Terombang-ambing dalam lautan kehidupan. Mengikuti alur, bisa terbawa arus. Akan tetapi, jika terus diam di tempat... kita akan mati. Takkan pernah bisa berkembang. Proses dimana kita bisa mengenal diri sendiri tahap dua. Namun, sekali lagi... jika kita "gagal" melewati, kita akan dianggap "lagi" di luar batas kewajaran.

Sampai di tahap dewasa. Terdapat lagi pilihan. Antara karir atau menikah. Hal ini sangat mempengaruhi perempuan pada umumnya. Perempuan yang hanya mempedulikan karir disebut wanita yang tak mau membina keluarga. Sedangkan wanita yang terlalu cepat menikah disebut dengan wanita yang hanya mengharap belas kasih tercintanya.

Seolah, "karir", adalah hal yang tidak diperbolehkan melekat pada wanita. Kaum kelas nomor dua. Dan "menikah" adalah keharusan. "Umurnya sudah cocok". Benarkah semua ditentukan oleh umur?

Masyarakat cenderung bias menggeneralisir makna gender. Seolah manusia "dipaksa" menjadi dewasa sesuai umur. Bukankah proses kehidupan yang menentukan?

"Siap" atau "tidak siap" adalah indikasi proses mentalitas seseorang atas tekanan terus-menerus yang terjadi selama siklus kehidupan berlangsung. Hasil adalah bagian dari proses. Namun, sekali lagi. Masyarakat kita hanya terpaku pada hasil yang terlihat, tanpa tahu-menahu akan proses yang dijalani.
Cenderung kaku dan konsevatif, menekan ranah-ranah yang bahkan belum terjamah oleh manusia itu sendiri.

Kita dipaksa menikah karena kita harus menikah.
Kita harus mendapat pekerjaan yang bagus sebagai standarisasi kehidupan bahagia. Indikasi kesuksesan.

Pada akhirnya, kehidupan ini adalah standarisasi dan otorisasi masyarakat. Harus begini dan begitu. Dan, orang-orang pada umumnya hanya menerima satu hal yang "biasa", lazim diterima. Tidak menerima apa yang lebih apalagi yang kurang. Semua harus sempurna. Harus sama. Berbeda? Dilibas habis.

Padahal, proses kehidupan adalah penyempurnaan roda itu sendiri. Dan proses setiap itu berbeda.


Comments

Popular Posts