Demokrasi Kita

Sebelumnya, perkenalkan salamku. Aku adalah anak bangsa, seorang mahasiswa yang sedikit mengerti tentang pergolakan yang telah terjadi, atau baru-baru ini. Aku hanyalah seorang anak bangsa yang betul-betul mengerti dari apa negeri ini dibangun, yakni dari cinta kasih, darah, pengorbanan, dan airmata.

Baik, akan kumulai.

Pemilihan yang kita dengungkan hari ini, atau kemarin, bahkan berdekade yang lalu, selalu akan kita harapkan transparansi dan keadilannya, kejujuran, serta kompetensi para wakil bangsa yang telah diamanahkan karena rakyat percaya akan tugas yang dibebankan para wakil rakyat. Para penyambung lidah rakyat.

Keadilan dan transparansi yang kita gaungkan, hanyalah salah satu cara agar Indonesia berhak dipimpin oleh pemimpin yang berkompeten, adil, amanah, berjiwa ksatria, patriotik, dan rela berkorban. Bukankah hal itu yang ingin kita dapatkan setelah menghabiskan anggaran negara yang begitu 'mahal' ini? 

Jika kenyataan di lapangan pun menggambarkan kepercayaan rakyat yang telah dinodai, maka, wakil bangsa mana lagi yang dapat kami percayai?

Jika kepercayaan rakyat dinodai, dan malah dengan asyiknya dipertontonkan di semua kalangan negeri, maka, rintihan rakyat mana lagi yang bisa kalian dengar? Suara rakyat mana lagi yang bisa kalian perselisihkan? Apakah teriakan atau sumpah serapah yang ingin kalian dengar dari ibu kandung kalian sendiri, rakyat? 

Kita hanya ingin keadilan, kita hanya ingin transparansi aparat dalam penegakan hukum. Demi jiwaku yang berada di tanganNya, rakyat hanya meminta itu! Tidak lebih. Sesederhana itu. Apakah permintaan rakyat begitu sulit hingga tak bisa kalian kabulkan?

Apakah tak cukup sandiwara telah kalian pertontonkan? Apakah tak cukup? Jika benar tak cukup, maka apakah hukuman Tuhan tak cukup jadi ancaman hidup kalian?

Apa dosa rakyat, Tuan? Hingga kalian tega menyiksa anak kandung kalian sendiri? Bukankah rakyat telah mencukupkan perut-perut kalian? Berjuta-juta gaji atau bermilyar-milyaran uang itu tak cukup untuk menghidupkan nuranimu di depan asma Tuhan?

Dimana nurani kalian, Tuan? Tuan... apakah kau sudi membayar negaramu dengan uang konglomerat itu? Seberapa banyak uang itu hingga mampu meniadakan nuranimu? Apakah degup jantung suara rakyatmu tak cukup menghalau kerakusanmu?

Apakah benar-benar tak cukup?

Tuan... coba kau tengok para demonstran. Atau para pengguna sosial media belakangan ini. Berita kebenaran dan kebatilan bercampur-baur, Tuan! Tuan, lihat! Bukankah itu akibat perbuatan dari kedua tanganmu?

Bukankah negara kita adalah demokrasi? Bukankah negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi nilai agama? Lalu mengapa banyak rakyatnya yang menyalahkan rakyat lain karena mengeluarkan suara atas dasar agama? 

Lantas, jika agama kalian persalahkan atas dasar dalih agama, maka bukankah ketidakberadaan agama menjadi hal yang utama?

Jawab, Tuan. 

Bukankah konstitusi negara melegalkan menyuarakan pendapat atas dasar yang diyakini di negara ini? Lantas, mengapa ketika agama telah dihadapkan menjadi suatu perkara yang pasti, kalian menghela napas? Lalu berujar, "Agama lagi?" Padahal kalian hidup bersama dan di dalamnya.

Maka, satu pertanyaan untuk kalian. Prinsip hidup mana yang kalian anut dan kalian hidupi?

Demonstrasi yang terjadi hari ini, harusnya mengingatkan kita untuk menghargai apa yang ada dalam konstitusi hukum di suatu negara. Bukan balik menyerang, menyudutkan dengan dalih tidak masuk akal.

Hei, kalian! Kalian yang tengah duduk diam lalu dengan mudahnya menyalahkan para demonstran yang beragama, dengan kata tidak berakal. Biar aku tanya, siapa yang tidak berakal?

Mereka yang pergi menyuarakan hak atas dasar agama yang mereka anut lalu kalian perselisihkan? Mereka membawa prinsip nilai ketuhanan yang mereka imani, kalian ucap tak berakal. Sementara kalian yang duduk diam, merasa paling pintar, menyalahkan dengan lantangnya apa yang mereka perbuat itu tidak berguna.

Sekarang, siapa yang tidak berguna? Mereka yang pergi dengan suara lantang membawa keyakinan yang mereka anut atau kalian para pembual yang suka menyalahkan?

Mereka datang dengan prinsip, kalian tinggal duduk bersama pemikiran bodoh yang kalian anut.

Lalu jika begini keadaannya, bagaimana dengan prinsip nilai-nilai keagamaan yang telah ibu-bapak kalian ajarkan? Tak bergunakah?

Jika pun mereka mati, kalian sebut mereka mati konyol. Padahal mereka tidak mati konyol. Mereka mati dengan keyakinan dan prinsip hidup yang mereka agungkan. Sementara kalian hidup dengan waras, begitu? Hidup waras tanpa keyakinan dan prinsip, apa jadinya?

Mereka mati syahid. Dan mereka bangga. Mereka menempuh kematian yang banyak pejuang inginkan. Mereka mati, mereka pergi membawa prinsip hidup yang mereka yakini kebenarannya. Sementara kalian hidup dengan ketakutan? Bukankah bayang kematian akan selalu mengintai?

Sudah, hidup miskin perjuangan memang susah.

Maka, negara pun harus bertanggungjawab atas kematian rakyatnya yang tiada dinginkan pihak manapun. Jika pun kalian masih berceloteh itu kesalahan dari oknum, lihatlah lebih jeli lagi. Kalian pun akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Sungguh, kita pun tidak ingin tragedi '98 terulang kembali. InsyaAllah tidak. Rakyat banyak yang sudah cukup pintar, selain mahasiswanya yang suka menyalahkan. 

Kita hanya menginginkan pemilu yang bersih, terindikasi bebas dari kecurangan. Jikapun nyatanya kecurangan dimenangkan oleh banyak pihak, maka, kita harus menunggu. Menunggu perjuangan ke Mahkamah Konstitusi dan menunggu sebagaimana mereka akan menunggu.

Sesungguhnya, kita dan mereka sama-sama menunggu. Kita menunggu ketetapan dariNya, sedangkan mereka menunggu hukuman dariNya. Tunggu saja.

Jika perjuangan rakyat tetap dicurangi, maka perjuangan kita belum usai. Perjuangan kita adalah menerima hasilnya dengan lapang dada, namun tetap menunggu dan berikhtiar bagaimana rencana Allah akan ditunjukkan dengan hebatnya.

Ini hanya masalah waktu saja. Yakinlah, sebab tangan Allah selalu bekerja.


Sekian, semoga bisa menjadi pembelajaran.





Comments

Popular Posts